PEMIKIRAN KH
HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kota kecil yang bernama
Jombang tidak henti-hentinya memunculkan sosok tokoh yang sangat berpengaruh di
bumi Indonesia Raya. Sebelum era Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Cak Nun (Emha
Ainun Najib) dan Cak Nur (Nurkhalis Majid), Jombang telah melahirkan tokoh
besar yang mampu mewarnai jalannya NKRI. Beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari, yang
tak lain juga merupakan kakek Gus Dur.
Sosok fenomenal Hasyim
Asy’ari kenyang pengalaman menyinggahi pesantren di Jawa sebelum melanjutkan
pendidikan ke tanah Arab. Sekembalinya ke Indonesia beliau mendirikan pesantren
Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan
pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa
memberinya gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”.
Hasyim Asy’ari termasuk
tokoh utama pendiri lembaga sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU (
Nahdlatul Ulama’). Organisasi ini bertujuan mempertahankan ajaran ahlu sunnah
wal jamaah serta tradisi Islam. Sementara corak pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya bersikap tradisional dengan hanya
mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah. Namun seiring dengan
perkembangan, lembaga ini juga memasukkan ilmu umum dengan sistem madrasah.
Dalam kancah perjuangan
merebut kemerdekaan dari Belanda dan Jepang, lembaga pendidikan yang berada di
bawah naungan NU ini turut pula memanggul senjata dengan mengorbankan jiwa dan
raga melawan penjajah. Dalam kaitannya dengan perjuangan melawan penjajah ini
tergambar jelas dalam rumusan Resolusi Jihad NU 1945[1][1]. Resolusi inilah yang memicu perlawanan sengit rakyat
Surabaya pada pertempuran tiga hari 27, 28, 29 Oktober 1945 yang berujung pada
tewasnya Jenderal Mallaby.
Resolusi Jihad ini
muncul tidak lepas dari peran KH. Hasyim Asy’ari yang mengomandoi para ulama
untuk merumuskan hukum berperang membela negara. Atas jasa tersebut, sudah
selayaknya beliau mendapatkan tanda jasa. Namun ia enggan untuk menerimanya
karena khawatir perjuangannya itu menggugurkan niat ikhlasnya.
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka perlu adanya identifikasi
masalah untuk membatasi pembahasan. Untuk itu penulis membatasi pembahasan
sebagai berikut :
1. Bagaimana Biografi KH. Hasyim Asy’ari ?
2. Apa saja pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan islam khususnya pesantren
?
BAB
II
RIWAYAT
HIDUP KH. HASYIM ASY’ARI
A.
Biografi
Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang
Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau
bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim
ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran
Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari
Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[2][2] Dipercaya
pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja
Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan
dari keluarga bangsawan.
Ibunya, Halimah adalah putri dari
kiai Ustman, guru Hasyim Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Ayah Hasyim
Asy’ari tergolong santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya
karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu
dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai
terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad
ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah,
Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan
Adnan.
Dengan latar belakang yang tidak
diragukan lagi dari segi keilmuan agama, masa kecil Hasyim Asy’ari banyak
dihabiskan menimba ilmu agama dari orang tuanya sendiri. Setelah itu, ia
melalang buana dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Terhitung pesantren
Shona, Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo
pernah disinggahinya untuk menempa ilmu agama.
Selama mondok di pesantren Sidoarjo
inilah, Hasyim Asyari mendapat perhatian lebih dari sang Kyai, Kyai Ya’qub,
hingga kemudian dijodohkan dengan putinya Khadijah pada tahun 1892 atau ketika
Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun.
Selang beberapa waktu kemudian ia
beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan
belajar di sana. Akan tetapi setelah isterinya meninggal karena melahirkan,
membuat ia kembali ke tanah air.
Rasa haus yang tinggi akan ilmu
pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun
berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang
lebih tujuh tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad
Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh
Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.
Setelah mematangkan ilmunya di
Mekah, pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren
ayah dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim
menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama
Nafiah, setelah sekian lama menduda. Sejak itulah beliau diminta membantu
mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, dan kemudian mendirikan pesantren
sendiri di daerah Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6
Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama
berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat
menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
Hasyim Asy’ari meninggal pada
tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang
dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah
beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan
Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang
dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari
rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena
serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.
B.
Karya KH. Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama
yang sangat produktif dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa
sejumlah karyanya tidak bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan
sebagian belum sempat dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang
ada pada masa itu serta kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan
pada lembaga NU. Setidaknya dibawah ini
dapat kita lihat diantara kitab yang disusunnya, antara lain:
1.
Adab al Alim wa al Muta’allim
fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi
Maqamat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi
para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh
Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum
karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa
al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir
kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin
Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh
Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi),
Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh
Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
2.
Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha
Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl
Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin
Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di
dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai
Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
3.
Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna
al Maulid al Munkarat Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara
kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian
yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para
santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi
dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan,
permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat
pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’
at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah
at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
4.
Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha
Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah. . Risalah
Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian,
tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5.
Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid
al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha
Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. Cahaya yang jelas menerangkan cinta
kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk
beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87
halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan
menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis
pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
6.
Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi
Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7.
Al Duur al Muntasirah fi Masail al
Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq
bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara
yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan
thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini
diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim,
dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor
setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai
halaman 29.
8.
Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah
al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. Berisi
tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi
sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H.,
penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
9.
Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya
Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10. Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
11. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf;
penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan
bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak
oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan
Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab
Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab
lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh
Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih
pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.[3][3]
BAB
III
PANDANGAN
KH. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN
A.
Dasar Pendidkan
K.H. Hasyim Asy’ari
memaparkan tingginya penuntut ilmu dan ulama dengan mengenengahkan ayat
Al-qur’an yang berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
11. Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-mujdalah; 11)
Di tempat lain, K.H.
Hasyim Asy’ari menggabungkan surah Al bayyinah ayat 7 dan 8 yang berbunyi:
cÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# y7Í´¯»s9'ré& ö/ãf çöy{ ÏpÎy9ø9$# ÇÐÈ ôMèdät!#ty_ yZÏã öNÍkÍh5u àM»¨Zy_ 5bôtã ÌøgrB `ÏB $uhÏGøtrB ã»pk÷XF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& ( zÓÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã 4 y7Ï9ºs ô`yJÏ9 zÓÅ´yz ¼çm/u ÇÑÈ
7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka
itu adalah Sebaik-baik makhluk.
8. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-bayyinah ; 7-8)
Premis dari ayat
pertama menyatakan ulama adalah hamba yang takut kepada Allah SWT sedangkan
pada ayat kedua menyatakan bahwa takut kepad Allah SWT adalah makluk yang
terbaik. Kedua premis ini dapat dikongklusikan menjadi ulama merupakan makluk
terbaik disisi Allah SWT
B.
Tujuan Pendidikan
Menurut Hasyim Asyari
bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar
ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat
kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama,
bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali
berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua,
bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu,
tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut
di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf),
yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut
beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Menuntut ilmu atau
belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam,
bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya
mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan
nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan
penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain,
umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Jadi
tujuan pendidikan meurut Hasyim Asy’ari adalah :
1. Menjadi insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Menjadi insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
C.
Pendidik
Menurut Hasyim Asy’ari seorang pendidik harus mempunyai etika sebagai berikut:
1. Etika seorang guru
a. Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
b. Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
c. Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
d. Mengadukan segala persoalan pada Allah
e. Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
f. Tidak selalu memanjakan anak
g. Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
h. Mengamalkan sunnah Nabi
i.
Mengistiqamahkan
membaca al- Qur’an
j.
Bersikap ramah, ceria
dan suka menabur salam
k. Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
2. Etika guru
dalam mengajar
a. Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
b. Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
c. Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
d. Biasakan membaca untuk menambah ilmu
e. Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
f. Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
g. Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
h. Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang
dimiliki
i.
Menasihati dan menegur
dengan baik jika anak didik bandel
j.
Bersikap terbuka
terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
k. Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan
ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
3. Etika guru bersama murid
a. Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
b. Menghindari ketidak ikhlasan
c. Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
d. Memperhatikan kemampuan anak didik
e. Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
f. Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
g. Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
D.
Anak Didik
Tanggung jawab anak
didik adalah sebagai berikut :
1. Etika belajar
a. Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
b. Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan
qanaah
c. Pandai mengatur waktu
d. Menyederhanakan makan dan minum
e. Berhati-hati (wara’)
f. Menghindari kemalasan
g. Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
2. Etika seorang murid terhadap guru
a. Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
b. Memilih guru yang wara’
c. Mengikuti jejak guru
d. Memuliakan dan memperhatikan hak guru
e. Bersabar terdapat kekerasan guru
f. Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
g. Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
h. Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
i.
Dengarkan segala fatwa
guru dan jangan menyela pembicaraannya
3. Etika murid terhadap pelajaran
a. Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
b. Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
c. Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
d. Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
e. Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
f. Pancangkan cita-cita yang tinggi
g. Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
h. Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan kontinyu (istiqamah)
E.
Kurikulum (Materi)
Kurikulum atau
materi yang diterapkan Hasyim Asy’ari meliputi kajian tafsir Al-Qur’an, hadits,
ushuluddin, kitab-kitab fiqih madzhab, nahwu, shorof dan materi yang membahas
tentang tasawwuf.
F.
Metode
Sistem individual yang ditetapkan dalam metode wetonan dan sorogan, metode
hafalan, Muhawarat, dan metode muzaharat, merupakan istilah-istilah
lain metode yang diterapkan pada Islam klasik seperti al-sama’, al-imla’, al-ijaza’, mudzakara, dan munazara. Bahkan penekanan aspek hapalan dalam penerapan
metode-metode diatas yang menjadi ciri khas pendidikan Islam klasik, juga
menjadi tipikal pesantren Tebuireng dan pesantren salaf atau tradisional.
(Rohman, 2010:63)
Menurut penulis ini bisa ditarik satu kesimpulan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari dalam
menggunakan metode pengajarannya lebih menitik beratkan pada metode hafalan,
sebagaimana pada umumnya menjadi karakteristik dari tradisi Syafi’iyah dan juga
menjadi salah satu ciri umum dalam tradisi pendidikan Islam.
Dalam menentukan pilihan metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan
tujuan, materi maupun situasi lingkungan pendidikan dimana setiap unsur
mempunyai karakteristik yang berbeda. Sehingga pemilihan, penetapan dan
penggunaan metode dalam proses pembelajaran harus mempertimbangkan
karakteristik tersebut. Metode konvensional yang lazim digunakan oleh kiai dalam
proses pembelajaran di pesantren (pendidikan Islam tradisional) adalah sistem
bandongan, sorogan dan wetonan dengan kajian pokok kitab kuning atau kitab
klasik. Selain metode sorogan dan bandongan, Kiai Hasyim Asy’ari juga
mengembangkan sistem musyawarah, yang pesertanya hanya santri senior dan telah mengikuti seleksi yang cukup ketat.
Hal ini dimaksudkan untuk mengkader calon-calon ulama masa depan agar dapat
mengembangkannya di daerah masing-masing.
Masih berkenaan dengan metode belajar mengajar, masa depan di pesantren yag
relative panjang, akan tetapi prinsip masyarakat modern cenderung
praktis-pragmatis. Prinsip ini tidak hanya berlaku disektor ekonomi
BAB
IV
IMPLIKASI
A.
Implikasi Teoritik
Pendidikan islam merupakan pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan yang Islami. Secara psikologis, kata
tersebut mengindikasikan suatu proses untuk pencapaian nilai moral, sehingga
subjek dan objeknya senantiasa mengkonotasikan kepada prilaku yang bernilai,
dan menjauhi sikap amoral.
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan
tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri
ketika disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama
jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili
istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam beberapa buku pendidikan Islam,
semua istilah tersebut digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan
pendidikan Islam.[12]
Pendidikan Islam tidak hanya
dipahami sebagai pendidikan yang berlabel Islam seperti madrasah-madrasah ataupun pondok pesantren, akan tetapi pendidikan Islam mencakup semua
proses pemikiran, penyelenggaraan dan tujuan. Dalam sebuah buku “Pendidikan
Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani”
karangan M. Suyudi disebutkan beberapa definisi pendidikan Islam menurut
beberapa tokoh,[13] yakni:
- Muhammad Fadlil Al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya.
- Omar Mohammad Al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan Islam.
- Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.
Imam al-Baidawi juga menafsirkan
kata tarbiyah yang ada dalam al-qur’an. Dalam tafsirnya yang berjudul Anwar
at-Tanzil wa ‘Asrar at-Ta’wil beliau mengemukakan bahwa makna tarbiyah
yaitu menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaan.[14]
Banyak definisi pendidikan Islam
yang sudah dipaparkan oleh beberapa tokoh dan pakar pendidikan. K.H Hasyim
Asy’ari pun memiliki pandangan sendiri dalam memaknai pendidikan islam. Dalam
pemikiran K.H Hasyim Asy’ari, beliau mengemukakan bahwasanya pendidikan islam
merupakan sarana untuk mencapai kemanusiaannya sehingga manusia dapat menyadari
siapa sesungguhnya penciptanya dan untuk apa diciptakan. Dalam sejarah
pendidikan islam tradisional, khususnya di Jawa, beliau memiliki peran yang
sangat besar di dalam dunia pesantren. Beliau digelari sebagai Hadrat Asy-Syekh
(guru besar di lingkungan pesantren) karena peranannya yang sangat besar dalam
pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren. Beliau juga berperan
penting dalam mempertahankan sekolah pesantren tersebut yang pada waktu itu
sekolah pesantren ingin dihapus oleh penjajah. Oleh karenanya, beliau juga
aktif dalam organisasi politik melawan Belanda.[16] Di samping
pesantren, K.H Hasyim Asy’ari juga berperan dalam mendirikan dan merintis
organisasi kemasyarakatan Nahdhatul Ulama yang populer disebut NU. Organisasi
sosial keagamaan ini memiliki maksud dan tujuan memegang teguh salah satu dari
empat mazhab, serta mengerjakan apa saja yang menjadi kemashlahatan agama
islam.[17]
Pada hakikatnya pendidikan islam
adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mengarahkan manusia pada derajat
kemanusiaanya yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan dan potensi yang
dimilikinya. Dengan demikian manusia akan mengetahui tugas dan kewajiban
sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah.
B.
Implikasi Empirik
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari
dilahirkan dari keturunan eliet kiai (pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah
1287H bertepatan 14 Pebruari 1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur.
Suasana kehidupan pesantren sangat mem-pengaruhi pembentukan karakter Hasyim
Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren
di Jawa sampai ke Tanah Hijaz.
Sebagai pendidik merupakan bagian
yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah
mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim
Asy’ari mendirikan pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah
Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam
bidang pendidikan lebih menekankan pada etika dalam pendidikan, meski tidak
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh
dengan keahliannya pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf
dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah
dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani.
Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah,
bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat.
Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika,
punya adab dan moral, baik murid ataupun guru sendiri.
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari
memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya,
guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping
pembentuk sikap dan etika peserta didik.
B.
Saran
1.
Seharusnya
orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan baik dalam sekolah maupun
pesantren terutama guru dapat meneladani dan menerapkan pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari tersebut sehingga diharapkan menjadikan pendidikan Islam natinya akan
semakin maju dan bermutu di era perkembangan zaman yang modern.
2.
Para
pendidik diharapkan dapat mengembangkan dan menjadikan pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari perbandingan dalam pengembangan pendidikan islam.
3.
Dengan
adanya konsep-konsep KH. Hasyim Asy’ari tersebut dapat dijadikan pedoman siswa
bagaimana etika seorang murid dalam menuntut ilmu Allah sehingga mendapatkan
ilmu yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
http://muzdalifahassholihah.blogspot.com/2012/12/faktor-pendidikan-menurut-tokoh.html
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
Munasichin, Zainal. Resolusi Jihad; Sejarah Yang Dilupakan. Jakarta:
DPP PKB. 2011.
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
M. Noor, Rohinah, 2010. KH. Hasyim Asy;ari Memodernisasi NU dan
Pendidikan Islam. Grafindo Khazanah Ilmu: Jakarta
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Msitisisme dalam Islam.
Bulan Bintang: Jakarta.
Ramayulis dkk. 2010. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Quantum Teaching: Ciputat.
Suwito dkk. 2003. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan.
Angkasa: Bandung.
Khuluq, Drs. Lathiful, 2008, Fajar Kebangunan Ulama-Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Jogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, cet. Ke-III
Bakar Atjeh, Abu, 1975, Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karang Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan KHA Wahid Hasyim
Asy’ari, KH.M. Hasyim, 2003, Menjadi Orang Pinter dan Bener (Adab al-Alim wa al-Muta’alim), Yogyakarta: CV. Qalam, cet. pertama
[2][2] Abuddin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005. hlm. 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar